JAKARTA, infojakarta.id – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali memasang target 6 jam banjir surut untuk wilayah tergenang memasuki musim hujan.
Target ini sama dengan target tahun lalu. Saat itu, Anies menyebut seluruh wilayah terendam banjir harus tidak tergenang setelah 6 jam penanganan, bukan 6 jam mengalami genangan.
Target 6 jam surut Anies bukan dihitung dari lama genangan. Dia menyebut ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi agar target penanganan 6 jam banjir surut bisa direalisasikan.
“Pertama kalau aliran sungai sudah kembali pada titik normal, maka 6 jam (sudah harus surut),” tutur Anies, Selasa (2/11/2021).
Kedua, kondisi drainase Jakarta saat ini hanya bisa menampung curah hujan 100 milimeter per hari.
Jika kondisi curah hujan berada di atas 100 milimeter per hari, maka kawasan yang diguyur hujan pasti mengalami banjir.
Baca juga Update Kondisi Korban Kecelakaan Bus Transjakarta
Target 6 jam surut akan dihitung apabila hujan sudah reda dan drainase berangsur bisa dialiri air limpasan.
Anies mengatakan, Pemprov DKI Jakarta hanya bisa mempercepat aliran air tersebut dibuang ke sungai jika kedua kondisi tersebut sudah terpenuhi.
Target 6 jam banjir surut bukan solusi
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan, target 6 jam banjir surut dinilai bukan solusi untuk mengatasi banjir Jakarta.
Menurut dia, Anies seharusnya memahami curah hujan akibat perubahan iklim cenderung lebih tinggi dari sebelumnya.
Apabila kondisi tersebut terjadi, kata Yayat, daya tampung drainase yang saat ini hanya 100 milimeter per hari tidak akan bisa menampung air hujan dan Jakarta pasti banjir.
“Tinggal hitung saja, sekarang kita ketahui curah hujannya ekstrem, kita tau bahwa kapasitas tata air dan drainase kita (hanya menampung curah hujan normal). Ya jelas lah melimpas kemana-mana,” tutur Yayat, Selasa.
Padahal, salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk target 6 jam banjir surut adalah air yang dialiri harus lebih kecil dari daya tampung drainase.
Tingginya intensitas hujan di Jakarta juga dinilai tidak bisa dijadikan alasan untuk memaklumi banjir.
Jakarta semestinya bisa mengantisipasi hal tersebut dengan memperbaiki sistem drainase yang kini hanya berkapasitas curah hujan normal.
Namun sebaliknya, yang terjadi adalah sistem drainase yang semakin buruk, terutama di kawasan padat penduduk.
“Contohnya di permukiman yang hampir sepertiga kawasan kumuh padat. Lihat struktur rumah dan drainasenya, begitu hujan air melimpas ke jalan dan di gang-gang, akhirnya jalan-jalan jadi sungai,” ucap dia.
Rekomendasi lama dari Jepang dan Bank Dunia
Perbaikan drainase Jakarta bukan akhir-akhir ini digaungkan oleh para pakar.
Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) pernah merekomendasikan perbaikan drainase untuk mengatasi banjir Jakarta.
Menurut rekomendasi JICA yang dikeluarkan 1991, masalah utama banjir Jakarta adalah laju urbanisasi yang sangat pesat dan tidak disertai pembangunan sistem drainase yang memadai.
JICA bahkan menyebut, proyek pembangunan Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur tidak akan berhasil menuntaskan banjir Jakarta jika tidak didukung pembangunan drainase yang baik.
JICA kemudian mengeluarkan perumusan master plan drainase, sanitasi dan pembangunan saluran limbah kota untuk Jakarta di tahun 2010 dan pemanfaatan Kanal Banjir Barat untuk penuntasan banjir di wilayah barat Jakarta.
Perbaikan sistem drainase tidak hanya rekomendasi dari Jepang. Bank Dunia melalui proyek Western Jaya Environmental Management Project (WJEMP) mengeluarkan rekomendasi yang sama tahun 2004.
Perbedaan mendasar rekomendasi JICA dan WJEMP adalah JICA pada pelibatan wilayah penyangga Jakarta.
JICA memberikan rekomendasi masterplan yang harus melibatkan Bodetabek terkait permasalahan drainase Jakarta.
Sedangkan WJEMP hanya berfokus pada wilayah Jakarta dan pengurangan genangan di 78 daerah rawan banjir di Jakarta.
Pengerukan lumpur
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, DKI Jakarta sudah berupaya menambah kapasitas drainase.
Salah satunya dengan cara pengerukan lumpur di sepanjang drainase yang sudah dibuat.
“Volume daya tampung air, kapasitas tampung air itu yang harus kita tingkatkan. Pertama adalah dengan cara melakukan pengerukan sedimen yang ada, yang menumpuk,” kata Riza.
Tidak hanya drainase, pengerukan juga dilakukan di 13 sungai yang melewati Jakarta dan kurang lebih 30 waduk dan situ.
Pemprov DKI sudah mengerahkan 257 alat berat untuk melakukan pengerukan lumpur di sistem penampungan air Jakarta.
“Itu upaya yang dilakukan dalam rangka meningkatkan daya tampung,” tutur dia.
Riza juga bertutur program naturalisasi dan normalisasi yang dikerjakan bersama Kementerian PUPR menjadi salah satu upaya meningkatkan sistem drainase di Jakarta.
Namun dia mengakui naturalisasi sulit berjalan karena proses pembebasan lahan yang kini diduduki oleh warga.
Riza mengatakan, Pemprov DKI Jakarta juga menggenjot pembangunan sumur resapan yang dinilai sudah memiliki dampak positif terhadap pengendalian banjir Jakarta.
“Alhamdulillah keliatan dampaknya dari gerebek lumpur atau pengerukan keliatan dampaknya. Sumur resapan juga keliatan dampak (positif),” ucap dia.
(DM/Kompas.co)